Menjadi guru di pelosok Indonesia
1. Kondisi daerah
A. Letak Geografis
Komunitas Tau Taa Wana yang menjadi sasaran studi ini adalah komunitas
yang bermukim di 11 lipu (satuan mukim komunal) dalam kawasan Aliran Sungai
Bulang --- sungai yang bermuara di sungai Bongka. Letak dan lokasi sebarannya
dapat diuraikan sebagai berikut:
• 5 Lipu terletak di kawasan aliran sungai Bongka (sungai utama DAS Bongka)
atau di sekitar mura sungai Bulang, yakni Vatutana, Lengkasa, Liku Layo,
Ratuvoli, dan Kanaso;
• 2 Lipu terletak di sekitar Sungai Bulang. Lokasi lipu ini tidak jauh dengan
lokasi pemukiman transmigrasi Bulang;
• 4 Lipu terletak di sekitar kawasan aliran sungai Salaki – sungai yang
bermuaran di sungai Bulang – yakni Kapoya, Kablenga, Salumangge, Sakoi.
Dari 11 lipu atau satuan mukim komunal tersebut, 5 diantaranya relatif
telah menetap meskipun sistem perladangannya masih berotasi, yakni Mpoa,
Tikore, Vatutana, Lengkasa dan Ratuvoli. Sedangkan 6 lipu lainnya, reltif masih
berotasi mengikuti sistem perladangan atau karena faktor kepercayaan atas
kematian. Jika ada anggota satuan mukim yang meninggal, lokasi lipu
dipindahkan ke lokasi lain atau bergabung dengan satuan mukim lainnya. 1)
Secara hidrografi, lokasi sebaran 11 Lipu komunitas Tau Taa Wana yang
menjadi sasaran studi ini, sebagaimana tampak dalam gambar 1, boleh dibilang
berada pada bagian hulu DAS Bongka. Kawasan DAS Bongka, sejak dahulu
memang merupakan wilayah sebaran utama Tau Taa Wana.
satuan mukim tersebar di sekitar kawasan gunung Katopasa, Kondoruang,
Rapambakalai, Rapansuala, Tokala, Pombero, Tomira, Kanato, Watumoana,
Salangar, Lumut, Sinara, Rapampue, Ngoyo Takumporu, dan gunung Rapampolu.
Dalam wilayah sebaran tersebut, letak wilayah kelola tradisional (wilayah
penguasaan) komunitas Tau Taa Wana yang menjadi sasaran studi, pada
koordinat 0107’ sampai 01029’ Lintang Selatan, dan 1210 45’ sampai 12207’ Bujur
Timur. Wilayah kelola itu, secara administratif terletak pada 3 (tiga) wilayah
pemerintahan kabupaten dalam provinsi Sulawesi Tengah, masing-masing:
Pertama; Kabupaten Tojo Una-Una yang meliputi Kecamatan Ampana Tete dan
Ulu Bongka, Kedua; Kabupaten Morowali yang persisnya berada di wilayah
Kecamatan Bungku Utara, dan Ketiga; Kabupaten Banggai, terutama berada di
wilayah Kecamatan Toili.
Lokasi satuan-satuan mukim (lipu/opot) Tau Taa Wana yang menjadi
sasaran studi ini, dapat dijangkau melalui pemukiman transmigrasi Dataran Bulan
dengan menggunakan kendaraan jenis Hardtop melalui dua arah, yaitu dari
Balingara Kecamatan Ampana Tete Kabupaten Tojo Una-Una, dan Kecamatan
Toili Kabupaten Banggai, masing-masing dengan jarak + 60 Km dan waktu
tempuh berkisar 5 – 7 jam. Selanjutnya dari pemukiman transmigrasi, lokasi lipu
terdekat (Mpoa dan Tikore), dapat ditempuh dengan gerobak dan berjalan kaki
sekitar + 1 jam perjalanan. Sementara Lipu/Opot lainnya hanya dapat dilakukan
dengan berjalan kaki melintasi kawasan aliran sungai dan pengunungan berkisar
5 – 12 jam perjalanan.
B. Kondisi Lingkungan
Posisi kawasan hulu DAS Bongka sebagai wilayah sebaran Tau Taa Wana,
jika dilihat dari perspektif ekologis, merupakan daerah penyangga (buffer zone)
sekaligus koridor lintasan satwa endemic dari 3 kawasan konservasi utama di
jazirah timur Pulau Sulawesi, yakni Cagar Alam Morowali di bagian barat daya,
Cagar Alam Tanjung Api di bagian utara, serta Suaka Margasatwa Bangkiriang di
bagian tenggara.
Selain itu, karena letaknya di bagian hulu, sudah tentu pula berfungsi
sebagai catcment area (kawasan tangkapan air).2) Itulah sebabnya penetapan fungsi
hutan dalam DAS Bongka di dominasi oleh Hutan Lindung mencapai 135.842 Ha
(41.5 %).
Dengan dominannya hutan lindung, maka bisa dipastikan kondisi
kemiringannya pun didominasi pula oleh variasi ketinggian (altitude) 40 % ke
atas, yang ditandai oleh banyaknya barisan pegunungan yang melingkari
sejumlah dataran lembah berbukit dengan tingkat elevasi, berkisar antara 350 m –
2.630 m dari permukaan laut.
Keadaan iklim di Kawasan hulu DAS Bongka dapat diklasifikasikan
menurut iklim Oldeman, yakni klasifikasi iklim C2, dimana keadaan curah hujan
dengan bulan basah selama 5 – 6 bulan dan bulan kering 2 – 3 bulan. Curah hujan
rata-rata minimum pada bulan basah berkisar 200 mm/bulan, dan bulan kering
rata-rata maksimum 100 mm/bulan.4)
C. Keadaan Demografi
Dari segi demografi, komunitas Tau Taa Wana di kawasan hulu DAS
Bongka, agak sulit di identifikasi secara jelas di setiap lipu/opot. Penyebab utama
tidak lain adalah pergerakan kehidupan sistem rotatif perladangan berpindahpindah
yang relatif cukup tinggi dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Bahkan ada
beberapa lipu/opot yang hanya meninggalkan bekas puing-puing bangunan dan
tanda-tanda secara alamiah bekas lokasi lipu/opot, dan disamping itu
terbentuknya lipu/opot yang baru. Kelompok komunitas pada lipu/opot baru
inipun merupakan kumpulan satuan kepala keluarga yang berasal dari lipu/opot
yang terbangun sebelumnya.
Yang belum tersentuh program pemberdayaan KAT, berkisar antara 9.072 jiwa s/d 11.340 jiwa.
Di kawasan hulu DAS Bongka, khususnya pada lokasi studi, rata-rata
anggota komunitas Tau Taa Wana belum pernah bersentuhan dengan pendidikan
formal, baik anak-anak maupun orang tua. Hanya sebahagian kecil saja yang telah
mengecap pendidikan formal. Dari sebahagian terkecil itu pun, kebanyakan hanya
sampai tingkat SD.9)
Seperti umumnya masyarakat yang tinggal dan bermukim di hutan hujan
tropis, Tau Taa Wana pun tak asing lagi dengan penyakit malaria selain penyakit
kulit dan muntaber. Penyakit malaria, boleh dibilang telah menjadi penyakit
endemi. Sebahagian besar penduduk usia tua adalah pengidap malaria yang
sudah menahun, yang ditandai dengan pembengkakan limva. penyakit ini
menjadi sebab utama dari banyak kasus kematian di lipu-lipu Tau Taa Wana.
Secara tradisional, Tau Taa Wana memiliki pengetahuan meramu obat-obatan dari
tumbuhan hutan untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut, tetapi pada
tingkatan yang cukup parah, pengobatan dilakukan dengan melakukan ritual
“mobolong” untuk mengusir roh-roh penyebab penyakit, sebagaimana diyakini
dalam agama lokal mereka.
D. Keadaan Sarana dan Prasarana Umum dan Sosial
Sampai tahun 2003, komunitas Tau Taa Wana di lipu-lipu/opot-opot yang
menjadi sasaran studi ini, belum banyak tersentuh langsung oleh pelayanan sosial
dari pihak pemerintah setempat. Sarana dan prasarana umum dan sosial, boleh
dibilang merupakan hal asing bagi komunitas Tau Taa Wana yang menjadi
sasaran studi ini.
Satu-satunya sarana umum yang ada hanyalah sarana radio komunikasi
berupa Handy Talky (HT), Rick dan All Band, yang didukung oleh Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS).12) Perangkat komunikasi radio ini merupakan
bantuan dari program pengembangan sistem informasi dan komunikasi kampung
bagi masyarakat dalam hutan, yang dikembangkan oleh Yayasan Merah Putih
(YMP) Palu bekerjasama dengan Rainforest Foundation Norway (RFN) pada tahun
2003 silam.
Untuk sarana dan prasarana lainnya seperti sekolah, puskesmas, pasar dan
jalan, meskipun telah dibangun oleh pemerintah, namun itu terutama hanyalah
diperuntukkan dan dibangun di Desa Bulan Jaya (desa transmigrasi). Dan dari
seluruh sarana dan prasarana umum dan sosial tersebut, pasar dan puskesmas,
adalah prasarana yang mulai pula dimanfaatkan oleh Tau Taa Wana.
Pasar di Desa Bulan Jaya, rutin sekali seminggu (hari pasar) dimanfaatkan
oleh Tau Taa Wana untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari serta menjual hewan
ternak, madu, dan hasil kebun. Sedangkan “puskesmas” baru dimanfaatkan jika
penyakit-penyakit yang diderita Tau Taa Wana sudah sampai pada tingkatan yang
cukup parah yang tidak dapat lagi diobati dengan metode tradisional.
E. Mata pencaharian
Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
2. Rencana kerja
Suku wana merupakan suku terpencil yang berada di sulawesi tengah, mereka tidak mempunyai agama karena memang mereka tidak mengetahui agama, seperti contohnya islam. Agama dilihat sebagai suatu lembaga yang terpisah dari kehidupan cultural, dan merupakan ide yang dimasukan dari luar. penyiaran agama modern ke suku Wana membuat mereka benar-benar sadar bahwa pemerintah Indonesia umumnya menginginkan mereka untuk memeluk agama modern, yaitu Islam atau Kristen dan harus meninggalkan kepercayaan tradisional mereka.Oleh karena itu saya ingin mengenalkan agama islam pada penduduk suku wana. Mengubah cara pandang mereka terhadap agama, bahwa agama merupakan jati diri setiap insan.
Saya akan mengenalkan agama islam pada penduduk suku wana, seperti mengapakita prlu beragama, dan pentingya agama bagi kehidupan. Saya akan mengajarkan tentang tata cara shalat, mengajarkan berpuasa, dan tentang tata cara berpakaian yang baik.
Cara pengajaran yang ingin saya terapkan :
1. Shalat
Saya akan menjelaskan tentang kapan saja waktu menjalankan shalat, seperti kapan waktu isha. Subuh, zuhur.ashar, maghrib, dan juga membuat tempat khusus seperti mushola untuk sarana pembelajaran, mempraktekan langsung tentang bagaimana cara berwudhu, gerakan-gerakan shalat.
Saya akan mengajak untuk shalat berjamaah di setiap waktu shalat.
2. Puasa
Dalam pengenalan puasa saya akan mulai dengan penjelasan bagaimana cara menjalankan puasa, apa saja yang membatalkan puasa, kapan saja waktu diperbolehkannya berpuasa.
3. Harapan
Saya berharap ini dapat menjadikan sebuah pemelajaran baru untuk saya, untuk lebih banyak membagi ilmu ada siapa saja yang membutuhkan.
Untuk masyarakat saya berharap dapat meninggalkan kepercayaan yang selama ini di anut, dan memilih untuk memeluk agama islam. Saya juga mengharapkan masyarakat dapat menanamkan nilai agama di dalam kehiduan bermasyarakat. Contohnya dalam menjalankan shalat. Dari semua harapan saya, yang terbesar adalah agar masyarakat dapat hidup lebih baik dari sebelumnya.
http://infosulawesitengah.wordpress.com/masyarakat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar